At Tauhid edisi VI/30
Oleh: al-Akh Yulian Purnama –hafizhahullah–
Nampaknya, banyak diantara kita belum merenungkan secara mendalam, ayat Qur’an, dzikir dan doa yang hampir setiap hari terucap dari lisan kita, yang sebenarnya sangat lugas mengikrarkan konsep Tauhid yang benar.
Ya, konsep Tauhid yang diajarkan Islam sesungguhnya sangat bisa dipahami dari dzikir, doa dan ayat-ayat sederhana yang sering dibaca oleh kebanyakan kita. Beberapa diantaranya akan dibahas pada tulisan ini.
Laa Ilaaha Illallah
Kalimat ini tentu tidak asing lagi bagi kita, sering kita ucapkan di dalam maupun di luar shalat, banyak terdapat di dalam Al Qur’an dan merupakan rukun pertama dari rukun Islam. Kalimat ini merupakan pondasi dari agama seorang muslim. Karena dengan mengucapkan kalimat ini, seorang muslim telah mengikrarkan konsep Tauhid. Secara bahasa arab, dan menurut penafsiran pada ulama, makna dari ‘Laa Ilaaha Illallah‘ adalah ‘tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah’. Dengan kata lain, ‘walaupun sesuai realita sesembahan lain itu memang ada, namun satu-satunya yang berhak disembah adalah Allah semata’. Jika demikian, orang yang mengucapkan ‘Laa Ilaaha Illallah‘ konsekuensinya ia tidak boleh sujud, berdoa, shalat, tawakkal dan mempersembahkan bentuk ibadah yang lain kepada selain Allah. Tidak kepada berhala, tidak kepada pohon, tidak kepada batu, tidak kepada kyai, tidak kepada kuburan, melainkan hanya kepada Allah semata.
Oleh karena itulah kaum Qura’isy bersikeras enggan mengucapkan kalimat ini, padahal mereka juga menyembah Allah dan mengakui Allah sebagai satu-satunya Rabb pencipta alam semesta.
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka (kaum musyrikin) akan menjawab: “Allah” “ (QS. Yunus: 31)
Namun ketika diseru untuk mengucapkan ‘Laa Ilaaha Illallah‘, mereka berkata:
“Mengapa Muhammad menjadikan sesembahan-sesembahan itu menjadi satu sesembahan saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” (QS. Shaad: 5)
Tidak hanya itu, bahkan marah dan memerangi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Padahal sesembahan-sesembahan yang mereka sembah itu hanya sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah.
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah” ” (QS. Yunus: 18)
Jika konsep Tauhid itu semata-mata mengakui Allah sebagai satu-satunya Rabb pencipta alam semesta, tentu kaum musyrikin ketika itu dengan senang hati mengucapkan ‘Laa Ilaaha Illallah‘ dan tidak perlu marah serta memerangi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Namun sungguh sangat disayangkan, banyak orang yang bersemangat dalam dzikir ‘Laa Ilaaha Illallah‘ namun justru berbuat kesyirikan dengan mempersembahkan bentuk-bentuk ibadah kepada selain Allah. Renungkanlah..
Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in
Kalimat di atas adalah sebuah ayat dari surat Al Fatihah, yang tentunya sering kita baca lebih dari 17 kali dalam sehari dan dihafal hampir oleh semua muslim diseluruh dunia. Yang artinya:
“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (QS. Al Fatihah: 5)
Secara bahasa arab, gaya bahasa ayat ini mengandung makna pembatasan. Sehingga maknanya ‘Hanya kepadaMu lah satu-satunya kami beribadah, hanya kepadaMu lah satu-satunya kami memohon pertolongan‘. Ayat ini menegaskan konsep Tauhid, bahwa peribadatan hanya ditujukan kepada Allah semata, serta menggantungkan pertolongan hanya kepada Allah.
Meminta dan menggantungkan pertolongan kepada selain Allah, semisal dukun, kyai, jin, atau menggunakan jimat, rajah, jampi-jampi, berarti telah berbuat yang bertentangan dengan surat Al Fatihah ayat 5 ini.
Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah
Kalimat ini adalah dzikir yang sudah tidak asing lagi di telinga dan lisan kita, dikenal dengan istilah hauqolah. Biasa kita baca ketika mendengar adzan, ketika setelah shalat, atau ketika melihat sesuatu yang menakjubkan. Arti dari kalimat ini adalah ‘Tiada daya upaya dan tidak ada kekuatan kecuali atas izin Allah Ta’ala‘. Begitu agungnya kalimat ini sampai-sampai oleh Rasulullah Shallalahu’alaihi Wasallam dikatakan sebagai tabungan surgawi.
Makna dari kalimat ini adalah, bahwa tercapainya sesuatu, perubahan kondisi menjadi lebih baik, adalah semata-mata karena kehendak Allah dan pertolongan dari-Nya. Bukan karena pertolongan dukun, bantuan jin, keajaiban jimat atau kesaktian kyai. Sama sekali bukan.
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia” (QS. Yunus: 107)
Konsekuensinya, memohon kebaikan, memohon tercapainya sesuatu, menggantungkan pertolongan hanyalah ditujukan kepada Allah Ta’ala. Inilah konsep Tauhid.
“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Fushilat: 36)
Surat Yaasin
Konsep Tauhid dalam surat Yasin sangatlah kental, terutama dalam ayat tentang seorang lelaki yang mau mengikuti dakwah utusan Allah yang menyerukan Tauhid, di tengah masyarakat yang berbuat kesyirikan. Lelaki tersebut berkata :
“Faktor apa yang bisa sampai membuatku tidak menyembah Rabb yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu semua akan dikembalikan? Untuk apa aku menyembah sesembahan-sesembahan selain-Nya padahal jika Allah Yang Maha Pemurah menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafa’at dari para sesembahan itu tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak pula dapat menyelamatkanku?” (QS. Yaasin: 22-23)
Ayat ini menggelitik nalar manusia, yaitu bahwa telah jelas Allah lah semata yang menciptakan alam beserta isinya dan seluruh manusia. Lalu mengapa mempersembahkan ritual-ritual ibadah kepada selain Allah? Sungguh kemusyrikan telah melempar jatuh akal sehat manusia.
Ayat ini juga membantah telak orang yang meminta-minta pertolongan kepada selain Allah. Karena pertolongan dari sesembahan selain Allah, tidak bermanfaat jika Allah tidak menghendakinya terjadi. Begitu juga keburukan dari sesembahan selain Allah, tidak membahayakan jika Allah tidak menghendakinya terjadi.
Namun sangat disayangkan, sebagian orang bersemangat untuk selalu membaca surat Yasin setiap pekannya, namun belum meresap dalam hati mereka konsep Tauhid yang terkandung di dalamnya.
Ayat Kursi
Di negeri kita, hampir semua orang menghapal ayat kursi, yaitu surat Al Baqarah ayat 255. Orang yang merenungkan ayat kursi akan mendapati di dalamnya sarat akan konsep Tauhid. Semisal firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya” (QS. Al Baqarah: 255)
Berkaitan dengan ayat ini, Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya):
“Katakanlah (wahai Muhammad): “Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” “ (QS. Az Zumar: 44)
Ayat-ayat ini memberi pengajaran bahwa syafa’at itu sepenuhnya milik Allah Ta’ala. Dan syafa’at dapat diberikan semata-mata atas izin Allah Ta’ala. Memang benar bahwa sebagian makhluk Allah ada yang dapat memberi syafa’at, itupun terbatas pada orang-orang yang diizinkan oleh Allah untuk memberi syafa’at. Sehingga tidak boleh sembarang kita mengklaim kyai Fulan, habib Fulan, mbah Fulan bisa memberi syafa’at padahal tidak ada keterangan bahwa Allah Ta’ala mengizinkan mereka untuk memberi syafa’at.
Pengajaran lain, baginda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memang diizinkan oleh Allah untuk memberi syafa’at. Namun syafa’at dari Baginda Nabi tidak dapat diberikan kepada salah seorang di antara kita tanpa izin Allah Ta’ala. Seseorang tidak akan mendapatkan syafa’at jika Allah tidak me-ridhai dia untuk mendapatkannya, walau orang tersebut telah memintanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ribuan kali. Jika demikian, bukankah seharusnya kita memohon syafa’at tersebut kepada Allah dan bukan memohonnya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam? Terlebih lagi berdoa memohon syafa’at kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bertentangan dengan konsep Tauhid bahwa doa hanya ditujukan kepada Allah semata.
Dzikir Setelah Shalat
Doa yang sering kita baca setelah shalat ini berbunyi:
Allahumma, laa maani’a limaa a’thaita, wa laa mu’thia limaa mana’ta, wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu
“Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi jika Engkau memberikan sesuatu, dan tidak ada yang dapat memberi jika Engkau telah menghalanginya. Tidak berguna kekayaan seseorang dihadapun-Mu wahai Dzat Yang Maha Kaya” (HR. Bukhari no.6615, Muslim no.477)
Dzikir ini menegaskan bahwa doa hanyalah ditujukan kepada Allah bukan kepada selain-Nya. Karena Allah-lah yang memiliki hak veto untuk memberi kebaikan dan keburukan atau tidak memberinya.
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya” (QS. Yunus: 107)
Dzikir yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ini berisi puji-pujian terhadap Allah terutama memuji kebesaran Allah dalam hal kekuasaan-Nya untuk memberi kebaikan atau keburukan. Berkaitan dengan hal tersebut, digunakannya lafadz ‘Allahumma‘ di sini memberikan pengajaran bahwa permintaan kita kepada Allah disampaikan langsung kepada Allah tanpa melalui perantara siapapun.
“Dan Allah berfirman: “Berdoalah (langsung) kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan” (QS. Al Mu’min: 60)
Demikian, semoga kita dan seluruh umat muslim berhenti sejenak saja untuk merenungkan kalimat-kalimat di atas yang senantiasa meluncur deras dari lisan kita, sehingga dapat kita resapi hakikat ajaran Tauhid yang agung yang merupakan modal utama untuk mengharap secercah rahmat dari Allah Ta’ala di hari akhir kelak. [Yulian Purnama]
Sumber: http://buletin.muslim.or.id